Senin, 03 Desember 2012

PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN MORAL REMAJA


PERKEMBANGAN KOGNITIF

1.     Aspek dari Kematangan Kognitif

            Perkembangan kognitif remaja akan terus berlanjut.Remaja tidak hanya memiliki penampilan yang berbeda dengan anak-anak dibawah nya, tetapi juga memiliki cara berpikir yang berbeda.Walaupun mungkin itu belum terlalu matang, sudah banyak yang bisa untuk berpikir secara abstrak dan memiliki penilaian moral yang canggih serta dapat merencanakan masa depan dengan lebih realistis.

A.    Tahap Operasional Formal dari Piaget
            Menurut Piaget, remaja akan memasuki tingkat tertinggi dari perkembangan kognitif, yaitu formal operation. Dalam tingkat ini, remaja mengembangkan kemampuan untuk berpikir abstrak, biasa nya pada usia 11 tahun-an. Remaja bisa belajar aljabar maupun kalkulus, makna-makna dalam literatur-literatur, dapat membayangkan kemungkinan dan dapat menyusun serta menguji hipotesis. Remaja pada tingkat ini sudan bisa  mengintegerasikan apa yang sudah mereka pelajari dengan rintangan yang akan mereka hadapi nanti di masa yang datang dan merencanakan masa depan. Pikiran pada tingkatini memiliki tingkat ke fleksibelan yang belum ada di tahap sebelumnya.

Hypothetical-Deductive Reasoning.
            Untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara stage formal operation dengan tahap lainnya, dibuatlah percobaan dengan masalah Piagetian klasik, tentang
 pendulum.

            Sebuah pendulum diperlihatkan kepada anak bernama Adam. Kemudian diperlihatkan pula kepadanya bagaimana caranya dia dapat mengubah salah satu dari empat faktor: panjang tali, berat objek, ketinggian yang menjadi titik lepas objek, dan jumlah kekuatan yang dapat digunakannya untuk mendorong objek tersebut. Adam diminta untuk menemukan faktor mana atau kombinasi dari beberapa faktor yang mana yang menentukan seberapa cepat pendulum tersebut terayun.

            Saat pertama kali Adam melihat pendulum tersebut, ia berusia 7 tahun dan berada dalam tahap operasional. Tidak mampu memformulasi rencana untuk memecahkan masalah tersebut, dia mencoba satu persatu dalam kerangka benar-atau-salah, Pertama-tama, dia meletakkan beban yang ringan di tali yang panjang lalu kemudian mendorongnya; kemudian dia mencoba beban yang berat di tali yang pendek; lalu dia mencopot seluruh berat tersebut. Metode ini bukan hanya acak, tetapi dia juga dapat memahami atau melaporkan apa yang terjadi.

            Pertemuan Adam dengan pendulum berikutnya ketika ia berusia 10 tahun dan berada dalam tahap operasional konkret. Saat itu, perbedaan panjang tali dan berat beban akan memengaruhi kecepatan ayunan. Akan tetapi, karena ia meragamkan berbagai faktor dalam saat yang samam dia tidak dapat mengatakan mana yang penting atau memang kedua-duanya (berat dan panjang tali) sama pentingnya.

            Adam kembali dihadapkan kepada pendulum di usia 15 tahun, dan kali ini dia menyelesaikan masalah tersebut secara sistematis. Dia mendesain eksperimen untuk menguji semua hipotesis yang mungkin, mengubah-ubah satu faktor dalam satu waktu. Pertama panjang tali, kemudian berat objek, titik di mana benda tersebut dilepaskan, dan terakhir jumlah tenaga yang digunakan. Tiap faktor tersebut dikombinasi dengan tiga faktor lainnya. Dengan cara seperti ini, dia dapat menentukan hanya satu faktor, yaitu panjang tali yang menentukan seberapa cepat pendulum berayun.

            Solusi Adam terhadap masalah pendulum tersebut menunjukkan bahwa dia sudah mencapai tahap operasi formal. Dia sekarang mampu melakukan hypothetical-deductive reasoning. Dia dapat mengembangkan hipotesis dan mendesain eksperimen untuk membuktikannya. Hypothetical-deductive reasoning memberikan perangkat untuk memecahkan masalah.

            Yang membuat perubahan dari tahap operasional konkret jadi operasi formal adalah adanya kombinasi kematangan otak dan perluasan peluang lingkungan. Walaupun perkembangan neurologis remaja telah cukup untuk melakukan penalaran formal, mereka hanya dapat mencapainya dengan stimulus yang tepat. Salah satu contohnya adalah melalui usaha kooperatif.

            Kultur dan sekolah tampaknya memainkan peran dalam hal ini. Ketika para remaja di New Guinea dan Rwanda diuji dengan masalah pendulum, tidak seorang pun yang dapat memecahkannya. Di sisi lainm anak Cina di Hong Kong yang sebelumnya bersekolah ala Inggris, dapat memecahkan masalah tersebut paling tidak sama baiknya dengan anak Amerika Serikat dan Eropa. Anak usia sekolah di Jawa tengah dan New South Wales juga menunjukkan kemampuan operasional formal tertentu.

Evaluating Piaget's Theory.
            Teori Piaget memberikan dampak yang luar biasa dalam bidang pendidikan. Teori tersebut memberikan patokan pada orang tua dan guru tentang apa yang harusnya mereka harapkan di setiap setiap tingkatan usia dan telah membantu para pendidik mendesain kurikulum yang cocok dengan tingkat perkembangan anak. Namun, dia gagal mempertimbangkan secara layak tahap-tahap pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang tertentu dan peran metakognisi, kesadaran, dan monitoring proses mental dan strategi seseorang.

            Teori Piaget mungkin tidak terlalu memberikan penekanan yang cukup pada aspek kematangan kecerdasan seperti peran pengalaman dan intuisi serta kebijaksanaan yang membantu orang menghadapi dunia yang kacau ini.

B.    Elkind: Karakteristik Pemikiran Remaja yang Belum Matang
            Dalam beberapa aspek, pemikiran remaja terlihat kurang matang, seperti masih kasar kepada orang yang lebih tua. hal ini disebabkan cara berpikir mereka yang baru ini mengubah cara mereka melihat dirinya sendiri dan dunia. Mereka merasa janggal akan perubahan dirinya, aneh dengan dunia luar.

            Menurut Elkind, pemikiran yang belum matang (immature characteristics) terwujud  dalam enam cara, yaitu:
1.         Idealism and criticalness. Para remaja sering merasa yakin bagaimana menjalankan dunia daripada orang dewasa, dan sering kali mereka mengkritik orang tua mereka sendiri. Padahal orang dewasa hidup lebih lama dan memiliki pengalaman yang lebih banyak.
2.         Argumentativeness. Para remaja selalu mencari kesempatan untuk mencoba dan menunjukkan kemampuan berpikir mereka. Mereka cenderung menjadi argumentatif dalam menyusun fakta dan logika untuk sebuah kasus, misalnya bergadang. Orang tua akan berpikir kalau mereka tidak harus tidur telat, tetapi remaja akan terus membuat alasan agar diperbolehkan.
3.         Indecisiveness. Para remaja bisa saja menyimpan banyak alternatif dalam pikiran pada waktu yang bersamaan, tetapi kurangnya strategi dalam memilih alternatif tersebut.
4.         Apparent hypocrisy. Remaja sering kali tidak menyadari perbedaan antara cara mengekspresikan sesuatu yang ideal dengan pengorbanan yang dibutuhkan untuk mewujudkan ekspresi tersebut.
5.         Self-consciousness. Para remaja sekarang dapat berpikir tentang pemikiran, namun mereka sering kali berasumsi kalau apa yan dipikirkan orang lain sama dengan apa yang mereka pikirkan, yaitu diri mereka sendiri. Inilah yang menurut Elkind, imaginary audience, yaitu konsep yang ada hanya dalam pikiran remaja dan sangat peduli dengan pemikiran dan tindakan yang sedang dilakukan oleh remaja tersebut.
6.         Specialness and invulnerability. Elkind menggunakan istilah personal fable untuk menunjukkan bahwa remaja itu spesial, memiliki pengalaman yang unikm dan tidak tunduk pada peraturan yang mengatur dunia.

C.    Perubahan dalam Pemrosesan Informasi
Penelitian mengenai pemrosesan informasi telah mengidentifikasi dua kategori besar dalam perubahan yang dapat diukur pada kognisi remaja : perubahan struktural dan perubahan fungsional.
1.Perubahan struktural
Perubahan ini meliputi :
1.      Perubahan dalam kapasitas pemrosesan informasi
2.      Meningkatnya jumlah pengetahuan yang disimpan dalam long-term memory
Kapasitas dari working memory meningkat besar pada masa kanak-kanak awal,terus meningkat selama masa remaja.Perluasan working memory ini membuat para remaja yang lebih tua untuk mengatasi masalah yang kompleks dan mengambil keputusan yang melibatkan beberapa bagian informasi.
Informasi yang disimpan dalam long term memory dapat berjenis :
ü  Declarative knowledge (“mengetahui bahwa...”) terdiri dari semua pengetahuan berupa fakta yang telah didapat oleh seseorang misalnya mengetahui bahwa 2 + 2 = 4
ü  Procedural knowledge (“mengetahui bagaimana...”) terdiri dari semua keterampilan yang telah didapatkan oleh seseorang misalnya dapat mengendarai mobil
ü  Conceptual knowledge (“mengetahui mengapa.....”) adalah pemahaman mengenai sesuatu misalnya mengapa persamaan aljabar tetap benar jika jumlah yang sama ditambahkan atau dikurangi didua sisi.
2.Perubahan fungsional
Proses mendapatkan , mengelola , dan menyimpan informasi adalah aspek fungsional dari kognisi . Diantaranya adalah belajar , mengingat , menalar , dan mengambil keputusan . Penalaran matematika , keruangan , dan ilmiah adalah beberapa dari proses fungsional yang biasanya meningkat selama masa remaja .
Remaja secara bertahap menjadi lebih baik dalam menarik kesimpulan,menjelaskan penalarannya,dan menguji hipotesis,terutama jika premisnya dikenal dan benar.Saat premis eksperimental merupakan kebalikan dari pengetahuan umum (“Semua gajah kecil.Ini adalah gajah.Apakah gajah ini kecil?”),kurang dari setengah dari remaja lebih besar atau orang dewasa yang dapat membuat deduksi logis yang tepat.
Akan tetapi,ketidakmatangan emosional dapat mengakibatkan remaja yang lebih tua membuat keputusan yang lebih buruk dibandingkan dengan remaja yang lebih muda.Hal ini dibuktikan dalam permainan Dua Puluh Pertanyaan dimana objek diminta untuk menjawab ya atau tidak atas beberapa pertanyaan guna mengetahui identitas seseorang,tempat,atau benda dengan mempersempit kategori dimana jawaban dapat ditemukan didalamnya.Efisiensi dimana orang-orang dapat melakukan hal ini biasanya membaik antara pertengahan masa kanak-kanak sampai masa remaja akhir.Akan tetapi dalam satu penelitian,siswa SMA terutama laki-laki,menunjukkan kecenderungan yang lebih besar dibandingkan remaja awal atau mahasiswa untuk menebak jawaban.Pola menebak seperti ini mencerminkan kecenderungan untuk memunculkan perilaku impulsif dan beresiko.Penilaian remaja yang terburu-buru mungkin berkaitan dengan perkembangan otak yang tidak matang yang dapat menyebabkan perasaan mengalahkan penalaran.
D.    Perkembangan Bahasa
Saat usia 16 sampai 18 tahun,umumnya remaja mengenal sekitar 80.000 kata.Dengan datangnya pemikiran formal,remaja dapat mendefinisikan dan mendiskusikan hal-hal abstrak seperti cinta,keadilan,dan kebebasan.Mereka lebih sering menggunakan istilah yang menunjukkan hubungan sebab akibat seperti walaupun, sebaliknya, oleh karena itu dan sebagainya.Mereka menjadi lebih sadar bahwa kata-kata adalah simbol yang dapat memiliki arti ganda;mereka senang menggunakan ironi,humor,dan metafora.
Remaja juga lebih terampil dalam penyerapan perspektif sosial, kemampuan memahami sudut pandang orang lain dan tingkat pengetahuannya disertai dengan peningkatan kemampuan dalam berbicara.Remaja berbicara dengan bahasa yang berbeda dengan teman-teman sebayanya dibandingkan dengan orang dewasa.Dalam menciptakan ekspresi seperti “awesome” dan “geek”,remaja menggunakan kemampuan untuk bermain dengan kata-kata yang baru saja muncul “untuk mendefinisikan cara pandang unik generasi mereka dalam hal nilai,selera dan preferensi” (Elkind,1998 hal 29).
E.     Penalaran Moral: Teori Kohlberg
            Saat anak memasuki tahap kognitif yang lebih tinggi, mereka menjadi bisa melakukan penalaran terhadap lebih banyak masalah moral. Mereka cenderung mengalami peningkatan dalam aspek altruisme dan rasa empati. Dibandingkan dengan anak yang lebih muda, remaja lebih baik untuk memandang sesuatu dari perspektif orang lain, mengatasi masalah sosial, melakukan kesepakatan dalam hubungan interpersonal, dan untuk menyadari keberadaan  mereka sebagai makhluk sosial. Semua kecenderungan tersebut mendorong perkembangan moral.
            Kita akan membahas terobosan teori Lawrence Kohlberg mengenai penalaran moral pada pengaruh kerja Carol Gilligan dalam perkembangan moral pada wanita, dan penelitian terhadap perilaku prososial pada remaja.
Heinz’s Dilemma seorang wanita sedang sekarat karena kanker. Seorang apoteker telah menemukan obat yang diyakini dokter mampu menyelamatkannya. Apoteker menetapkan harga obat tersebut satu kemasan kecilnya adalah $2000—sepuluh kali lipat dari harga yang dibutuhkan untuk membuatnya. Suami wanita tersebut, Heinz, meminjam dari semua orang-orang yang dikenalnya namun yang berhasil terkumpul hanya $1000. Dia meminta kepada pembuat obat agar bersedia menjual obat tersebut seharga $1000 atau mengijinkannya membayar sisanya kemudian. Apoteker tersebut menolak dan berkata, “Saya menemukan obat tersebut dan saya harus mendapatkan uang darinya.” Heinz yang putus asa merusakkan toko apoteker tersebut dan mencuri obatnya. Haruskah Heinz melakukan hal tersebut? Mengapa dan mengapa jika tidak?
Kohlberg’s Level and Stages
Perkembangan moral pada Kohlberg memiliki beberapa kemiripan dengan teori Piaget, namun teori Kohlberg sedikit lebih kompleks. Berdasarkan proses pemikiran yang ditunjukkan oleh respon terhadap dilema Heinz, Kohlberg memaparkan tiga tingkat penalaran moral, yang masing-masing dibagi dalam 2 tahap:
·         Tingkat I: Moralitas Prekonvensional (4-10 tahun)
Orang bertindak karena kontrol dari luar. Mereka mematuhi aturan untuk menghindari hukuman atau mendapatkan hadiah, atau mereka bertindak berdasarkan kepentingan pribadi.
ü  Tahap 1: Orientasi terhadap hukuman dan hadiah. “Apa yang akan terjadi padaku?”
Anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman. Mereka tidak menghiraukan motivasi dalam sebuah tindakan dan fokus pada bentuk fisiknya (contohnya seberapa besar kebohongannya) dan konsekuensinya (contohnya, jumlah kerusakan fisik)
ü  Tahap 2: Tujuan dan perubahan instrumental. “Jika kau mencakarku, aku akan kembali mencakarmu.” Anak menyesuaikan diri dengan aturan-aturan berdasarkan kepentingan pribadi dan keputusan mengenai apa yang dapat dilakukan oleh orang lain kepada mereka. Mereka memandang suatu tindakan karena manusia perlu memenuhi kebutuhannya dan membedakan nilai ini berdasarkan bentuk tindakan fisik dan konsekuensinya.
·         Tingkat II: Moralitas Konvensional (10-13 tahun)
Orang telah menginternalisasikan standard dari tokoh yang berwenang. Mereka meresahkan tentang menjadi baik, menyenangkan orang lain, dan melakukan perintah sosial. Tingkat ini tipikalnya dicapai setelah umur 10 tahun; banyak orang tidak pernah melalui tahap ini, bahkan sewaktu dewasa.
ü  Tahap 3: Memelihara hubungan mutual, persetujuan orang lain, golden rule. “Apakah saya adalah seorang laki-laki atau perempuan?” Anak ingin membantu dan menyenangkan orang lain, dapat menilai niat orang lain, dan mengembangkan ide mereka sendiri mengenai apa itu orang baik. Mereka mengevaluasi suatu tindakan berdasarkan motif melakukannya atau orang yang melakukannya, dan mereka juga memperhitungkan keadaan sekitar.
ü  Tahap 4: Perhatian sosial dan hati nurani. “Bagaimana jika semua orang melakukannya?” Orang berpusat dengan kesibukan mereka, menunjukkan penghargaan pada sosok yang lebih tua, dan menjaga tindakan sosial. Mereka menetapkan suatu tindakan itu salah, tanpa melihat motif dan keadaan sekitar, jika itu melanggar aturan atau  membahayakan orang lain. 
·         Tingkat III: Moralitas Postkonvensional (remaja awal, atau tidak sampai dewasa muda, atau tidak mengalami)
Orang menyadari konflik antara standard moral dan membuat penilaian sendiri didasarkan prinsip kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Orang umumnya tidak mencapai tahap ini sampai paling tidak mencapai remaja awal, atau umumnya pada dewasa muda, atau bahkan tidak pernah.
ü  Tahap 5: Kontrak moralitas, hak-hak individu, dan hukum yang diterima secara demokratis. Orang berpikir dalam ranah logis, mempertimbangkan suara mayoritas dan ketenteraman sosial.
ü  Tahap 6: Moralias prinsip etika universal. Orang melakukan apa yang dilakukannya sebagai individu adalah benar, tidak menghiraukan batasan resmi atau pendapat orang lain. Mereka bertindak berdasarkan standard yang terinternalisasi, mengetahui bahwa jika mereka harus menghukum diri sendiri ketika tidak mematuhinya.
Teori Kohlberg mengatakan bahwa penalaranlah yang mendasari respons seseorang terhadap dilema moral, bukan respon itu sendiri, hal tersebut mengindikasikan tahapan dari perkembangan moral.
Sebagian remaja dan bahkan orang dewasa tetap berada pada tingkat I perkembangan moral teori Kohlberg. Seperti anak kecil, mereka mencari cara untuk menghindari hukuman atau memuaskan kebutuhan mereka sendiri. Kebanyakan remaja dan orang dewasa tampaknya berada di tingkat II. Mereka mematuhi aturan sosial,mendukung status quo, dan “melakukan hal yang benar” untuk menyenangkan orang lain atau untuk mematuhi peraturan. Tahap 4 penalaran kurang umum namun meningkat dari remaja awal sampai dewasa muda.
Sebelum orang dapat mengembangkan moralitas dengan prinsip penuh (tingkat III,) Kohlberg berkata, mereka harus mengenali relativitas dari standar moral. Faktanya pada satu titik, Kohlberg mempertanyakan validitas dari tahapan 6, moralitas yang berdasarkan prinsip etnik universal, karena hanya sedikit sekali orang yang dapat mencapainya. Kemudian ia mengajukan tahapan “kosmik” ketujuh, dimana orang mempertimbangkan efek dari perilaku mereka tidak hanya terhadap orang lain tetapi bagi jagat raya secara keseluruhan.
Evaluating Kohlberg’s Theory
Kohlberg, didasari Piaget, mengesahkan suatu perubahan besar dalam penemuan mereka dalam cara kita melihat perkembangan moral. Dari pada melihat moralitas hanya sebagai pencapaian kontrol terhadap dorongan yang terus meningkat, para pengamat sekarang  melihat bagaimana cara anak membuat penilaian moral berdasarkan peningkatan pemahaman mereka terhadap dunia sosial.
Penelitian awal telah mendukung teori Kohlberg. Anak lelaki Amerika yang diamati Kohlberg dan koleganya diikuti perkembangan kedewasaannya melalui urutan-urutan tahap perkembangan Kohlberg. Namun penelitian baru-baru ini menunjukkan keraguan terhadap  penggambaran dari beberapa tahap Kohlberg, karena beberapa anak dapat berpendapat secara fleksibel mengenai beberapa isu mulai dari umur 6 tahun.
Salah satu alasan mengapa orang-orang mencapai tingkatan-tingkatan moral sangat bervariasi adalah bahwa orang yang sudah mencapai tingkat perkembangan perkembangan kognitif yang tinggi tidak selalu mencapai perkembangan moral yang sama tinggi. Mereka juga berpendapat bahwa tahap 5 dan 6 tidak adil jika dikatakan tahap perkembangan moral yang paling tinggi karena membatasi kedewasaan terhadap sekelompok orang yang diberikan refleksi filosofis.
Lebih jauh lagi, tidak ada hubungan yang sudah jelas antara penalaran moral dan  moral tingkah laku. 
Pengaruh Orangtua, Teman Sebaya, dan Budaya
            Piaget dan Kohlberg sama-sama setuju bahwa orangtua mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang. Remaja dengan orangtua yang mendukung, orangtua yang sering menstimulasi mereka dengan pertanyaan cenderung untuk mencapai penalaran yang lebih tinggi.
            Teman sebaya juga berpengaruh. Memiliki lebih banyak teman, menghabiskan waktu yang berkualitas dengan mereka, dan diangkat sebagai pemimpin diasosiasikan dengan enalaran moral yang lebih tinggi.
            Budaya dari masing-masing daerah juga mempengaruhi. Orang-orang yang lebih tua di negara-negara belahan Barat cenderung mencapai tahap yang lebih tinggi. Namun, orang-orang dengan budaya non-Barat jarang mencapai tahap ke 4.
F.     An Ethnic of Care: Gilligan’s Theory
Carol Gilligan (1982/1993) menyatakan bahwa teori Kohlberg hanya berorientasi pada nilai yang lebih penting pada pria daripada wanita. Gilligan menganggap wanita melihat moralitas tidak dalam batasan hukum dan keadilan dari tanggungjawab untuk menunjukkan kepedulian dan menghindari kekerasan.
Penelitian Gilligan menemukan perbedaan gender yang kecil dari kepedulian moral antara remaja dalam beberapa budaya. Contohnya, remaja awal perempuan di US lebih cenderung menekankan kepedulian daripada laki-laki, hal ini mungkin disebabkan perempuan secara umum lebih cepat dewasa dan memiliki intimasi hubungan sosial daripada laki-laki.
G.    Prosocial Behaviour and Volunteer Activity
Prosocial moral reasoning ialah alasan mengenai permasalahan moral dimana kebutuhan atau hasrat seseorang bertentangan dengan situasi orang lain dalam hal aturan atau norma sosial yg tidak jelas atau tidak ada. Dalam sebuah penelitian longitudinal, prosocial reasoning didasarkan pada refleksi diri tentang konsekuensi dan untuk menginternalisasi nilai dan norma meningkat sesuai dengan umur.
Perilaku prososial juga meningkat dari masa anak-anak hingga remaja. Perempuan lebih cenderung berperilaku prososial daripada laki-laki, perbedaan ini lebih tampak pada masa remaja. Perempuan memandang dirinya lebih empatik dan prososial dibandingkan dengan laki-laki, orangtua dari anak perempuan menekankan tanggungjawab sosial lebih besar daripada orangtua anak laki-laki. Para orangtua yang menggunakan disiplin induktif lebih mungkin memiliki anak remaja yang prososial daripada orangtua yang menggunakan disiplin otoriter yang tegas.
Setengah dari para remaja terlibat dalam pelayanan komunitas atau aktifitas sukarelawan. Aktifitas prososial ini mampu membuat para remaja menjadi terlibat dalam perhimpunan dewasa, untuk meng-explore kemampuan mereka sebagai bagian dari komunitas, dan untuk menghubungkan rasa perkembangan identitas mereka menjadi keterlibatan kenegaraan.
Sukarelawan remaja cenderung memiliki tingkatan yang tinggi dalam pemahaman diri dan komitmen kepada orang lain. Murid yang menjadi pekerja sukarelawan diluar sekolah, sebagai orang dewasa, lebih berkomitmen dalam komunitas mereka daripada yang tidak.

2.     Persiapan Pendidikan dan Pekerjaan
Sekolah adalah pengalaman utama berorganisasi di pada remaja. Sekolah memberikan kesempatan untuk belajar, menguasai beragam keterampilan, mengasah bakat atau aktifitas belajar lain. Pendidikan tersebut berperan untuk membantu para remaja menjelajahi pemilihan karir, dan untuk bersosialisasi. Remaja di US secara rata-rata memiliki nilai yang lebih rendah dalam tes pencapaian akademis dibandingkan remaja di negara lain.
A.    Influences on School Achievements
Siswa yang berprestasi baik di sekolah cenderung untuk tetap bersekolah. Seperti di Sekolah Dasar, faktor kebiasaan orangtua, status sosial-ekonomi, dan kualitas lingkungan mempengaruhi prestasi belajar remaja di sekolah. juga faktor lain termasuk gender, kesukuan, pengaruh lingkungan, kualitas pendidikan dan keyakinan murid terhadap dirinya sendiri; mampu mempengaruhi prestasi belajar.
Student Motivation and Self-Efficacy
Di Negara barat, khususnya US, pelaksanaan pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa murid bisa di-motivasi untuk belajar. Pendidik menekankan pentingnya motivasi intrinsik yaitu kemauan siswa untuk belajar demi kepentingan sendiri.
Di budaya barat, siswa yang tinggi dalam self-efficacy yang meyakini kalau mereka mampu mengatasi tugas dan mengatur pembelajaran mereka sendiri, lebih baik di sekolah. Dalam budaya lain, pendidikan tidak didasarkan pada motivasi pribadi tetapi faktor seperti kewajiban (di India), tunduk pada kekuasaan (di negara-negara Islam), dan bentuk partisipasi dalam keluarga dan komunitas (di sub-sahara Afrika). Di negara Asia bagian timur, siswa diharapkan untuk belajar, bukan karena pentingnya belajar, tetapi untuk memenuhi harapan  keluarga dan masyarakat. Pendidikan memerlukan usaha yang serius, dan siswa yang gagal atau tertinggal di belakang wajib mengulang kembali.
Di negara-negara berkembang, kurangnya motivasi dalam hal sosial dan ekonomi menghalangi pendidikan: ketidakmampuan atau tidak tersedianya sekolah dan sumber pendidikan, keharusan anak bekerja dan membantu keluarga, menghalangi pendidikan bagi anak perempuan atau kelompok budaya, dan pernikahan dini.
Siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi, yang percaya bahwa mereka dapat menguasai tugas-tugas dan meregulasi cara belajar mereka sendiri, lebih mungkin mencapai prestasi yang baik di sekolah. Motivasi siswa dipengaruhi oleh tuntutan orangtua mereka kepada mereka, tetapi kepercayaan diri dari siswa tersebut tentang kemampuan mereka lebih berpengaruh lagi.
Importance of SES and Related Family Characteristics
Menurut penelitian terhadap 15 tahun kecakapan matematik dalam 20 negara berpenghasilan tinggi, status sosial-ekonomi yang tinggi merupakan prediktor penting dalam kesuksesan  akademik. Batasan yang mirip muncul antara siswa yang orangtuanya mempunyai pendapatan yang tinggi dengan mereka yang berpendapatan menengah ke bawah.
Gender
Dalam tes internasional dari remaja di 43 negara industri, anak perempuan di seluruh negara lebih baik dalam membaca dibanding anak laki-laki. Anak laki-laki lebih baik dalam matematika, tetapi perbedaan ini kurang dinyatakan dalam membaca. Anak perempuan lebih cenderung baik dalam penilaian membaca dan menulis dibanding anak laki-laki.
Secara keseluruhan, faktanya, pada awal masa remaja, anak perempuan lebih baik dalam bidang verbal yang melibatkan kegunaan tulisan dan bahasa; anak laki-laki lebih baik dalam aktifitas yang melibatkan penglihatan dan fungsi spasial yang membantu dalam hal matematika dan pengetahuan alam.
Anak laki-laki lebih mungkin dibandingkan anak perempuan dalam mengalami penurunan prestasi (underachiever), ditugaskan untuk pendidikan khusus atau perbaikan, diusir atau dikeluarkan dari sekolah atau mengambil kursus yang bergengsi, masuk dalam perguruan tinggi yang terbaik, dan untuk menyanggupi tantangan karir.
Poin penelitian terhadap perbedaan gender mengandung 2 aspek penjelasan, biologis dan lingkungan. Otak pria dan wanita berbeda, dan akan lebih lagi dalam umur yang berbeda. Perempuan lebih memiliki bagian abu-abu (badan sel neuron, untuk koneksi dekat), tetapi laki-laki lebih memiliki bagian putih (myelin) dan cairan cerebrospinal yang untuk koneksi rangsangan syaraf yang lebih panjang. Perbedaan keuntungan masing-masing koneksi ini dihubungkan dengan kemampuan visual dan spasial, yang membantu dalam bidang matematika dan pengetahuan alam.
Dalam penelitian lain, corpus callosum, yang mana hubungan antara dua hemisfer otak, lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki, yang menghasilkan proses bahasa yang lebih baik. Sebagai tambahan, otak perempuan lebih seimbang melewati hemisfer dibanding laki-laki, menghasilkan jangkauan yang lebih luas dalam proses kognitif, dimana otak laki-laki lebih terspesialisasi. Otak laki-laki lebih mampu dalam aktifitas dalam tiap hemisfer, dimana otak perempuan beraktifitas dengan melewati hemisfer, menghasilkan mereka untuk mengintegrasikan tugas verbal dan analitis (otak kiri) dengan tugas spasial dan keseluruhan.
Kekuatan sosial dan budaya yang mempengaruhi perbedaan gender termasuk dalam:
-          Pengaruh tempat tinggal : Pada kebudayaan, tingkatan pendidikan orangtua dihubungkan dengan prestasi matematika anaknya. Perilaku orangtua dan harapan orangtua juga mempengaruhi.
-          Pengaruh sekolah : Perbedaan cara mengajar guru pada laki-laki dan perempuan khususnya kelas matematika dan pengetahuan alam.
-          Pengaruh tetangga  : Anak laki-laki mendapat keuntungan lebih dari lingkungan diperkaya dan lebih menyakitkan oleh lingkungan dicabut.
-          Aturan wanita dan pria dalam masyarakat membantu membentuk pilihan perempuan dan laki-laki terhadap pendidikan dan pekerjaan.
-          Pengaruh budaya: Penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa jumlah dari perbedaan gender dalam keragaman prestasi matematis diantara negara dan semakin besar pada akhir dari secondary school. Perbedaan ini dikorelasikan dengan tingkatan dari persamaan gender dalam masyarakat.

Pengaruh Pola Asuh Orangtua, Suku Bangsa, dan Kelompok
Pola asuh orangtua berpengaruh dengan bagaimana anak menjalani kesuksesan maupun kegagalan dalam hidupnya.
Orangtua yang otoritatif mendukung para remaja untuk melihat permasalahan dari dua sisi, serta menerima keterlibatan para remaja untuk membuat keputusan dalam keluarga. Orangtua yang otoritatif tidak malu untuk mengakui bahwa terkadang para remaja lebih banyak tahu dibandingkan mereka. Para orang tua ini menyeimbangkan tuntutan terhadap anak dengan memberi respons baik positif untuk hal-hal baik maupun negatif untuk hal-hal buruk pada anak mereka.
Sebaliknya, orangtua non-otoritatif melarang para remaja untuk membantah dan berdebat atau mempertanyakan sesuatu pada orang dewasa. Hal yang baik akan membuat para orangtua non-otoritatif untuk menuntut hal yang lebih baik lagi, tetapi hal yang buruk akan menghasilkan penghukuman bagi para remaja.
Rasa tidak berdaya yang berkaitan dengan pola asuh orangtua non-otoritatif dapat menjadi self-fulfilling prophecy, membuat anak tidak terdorong atau termotivasi untuk meraih keberhasilan.
Orangtua permisif tampak tidak perduli dengan hal-hal baik maupun buruk yang didapat anak. Para orangtua ini beranggapan bahwa remaja harus bertanggung-jawab terhadap hidupnya sendiri.
Prestasi yang baik di sekolah bagi para remaja dari berbagai latar belakang imigrasi mencerminkan penekanan kuat dan dukungan dari keluarga dan teman untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikan.
Pengaruh kelompok pertemanan atau rekan sebaya dapat membantu menjelaskan penurunan prestasi dan motivasi bagi para remaja awal. Remaja yang memiliki kelompok teman yang pintar dan berprestasi tinggi, cenderung mengalami penurunan prestasi yang kecil dibandingkan dengan remaja yang memiliki kelompok pertemanan yang berprestasi rendah.
The School
Kualitas sekolah sangat berpengaruh terhadap prestasi siswa. Sekolah menengah atas yang bagus,memiliki atmosfer yang teratur dan tidak menindas; kepala sekolah yang aktif dan enerjik; dan pengajar yang tetap,rasa positif dalam komunitas. Remaja lebih puas terrhadap sekolah apabila mereka diizinkan untuk berpartisipasi dalam membuat aturan dan merasa mendapatkan dukungan dari guru dan siswa lain dan jika kurikulum dan instruksi berarti penting,semsetinya menantang dan cocok terhadp ketertarikan,level skill,dan kebutuhan.
Sekolah yang menyesuaikan pengajaran kepada kemampuan siswa mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan yang mencoba mengajarkan semua siswanya dengan cara yang sama.

B.     Dikeluarkan dari Sekolah
Kenapa remaja yang miskin dan minoritas lebih sering terkena Drop Out?
Salah satu alasan mungkin sitstem sekolah yang tidak efektif: harapan guru yang rendah,perlakuan yang berbeda atas setiap murid,dukungan yang kurang dari guru dsb. Sebuah
faktor yang penting yang menonjol pada orang yang cukup sukses adalah active engagement: “ perhatian,ketertarikan,modal,dan upaya yang pelajar gunakan dalam pekerjaan sekolah”.  tingkat dimana pelajar terlibat dengan sekolah secara personal. Di level paling dasar, active engagement berarti datang ke kelas tepat waktu, sudah mempersiapkan diri, mendengarkan dan merespon terhadap pengajar dan mematuhi peraturan sekolah. Level tinggi lainnya secara konsisten terlibat dengan coursework-bertanya, mengambil inisiatif membantu atau mengerjakan tugas tambahan. Kedua level ini cenderung menunjukkan efek positif pada performa di sekolah. Murid yang mengikuti ekstrakurikuler dan mempunyai pekerjaan full time cenderung juga terkena drop out.Dorongan keluarga adalah nomor satu. Lainnya mungkin kelas kecil yang nyaman, lingkungan sekolah yang mendukung. Pengalaman prasekolah dapat menentukan tingkat kegagalan atau keberhasilan seseorang di tingkat sekolah menengah.
C.    Preparing for Higher Education or Vocations
Banyak faktor yang menjadi pertimbangan anak muda untuk mengembangakan karir seperti kemampuan individu dan kepribadian, pendidikan, sosial ekonomi dan latar belakang suku, informasi dari konselor sekolah, pengalaman hidup, nilai masyarakat. Mari melihat pengaruh dalam pendidikan dan aspirasi pekerjaan. Kemudian menguji persiapan untuk remaja yang tidak melanjut ke universitas.
Berbagai Pengaruh Terhadap Aspirasi Siswa
Kepercayaan akan kemampuan diri sendiri- biasanya dipengaruhi oleh keyakinan dan cita-cita orangtua-membentuk pilihan untuk remaja pertimbangkan atau bagaimana mereka mempersiapkan untuk karir (Bandura, Barbaranelli, Caprara,& Pastorelli,2001;Bandura et al., 1996).
Meskipun terjadi fleksibilitas dalam karir dalam masa ini, gender-dan stereotipe tentang gender- dapat mempengaruhi pilihan untuk pekerjaan. Sistem pendidikan sendiri juga berperan sebagai pengendali dalam aspirasi tentang pekerjaan. Pelajar yang mampu mengingat dan menganalisa cenderung mengerjakan dengan baik dalam hal tes intelegensi dan di kelas ketika guru menerangkan. Oleh karena itu, sesuai dengan diprediksikan dari tes, para pelajar ini adalah pelaksana suatu sistem dimana menitikberatkan pada kemampuan mereka untuk menjadi lebih menonjol. Siswa yang lebih menonjol di kreativitas dan pemikiran praktis tidak pernah mendapat kesempatan untuk menunjukkan apa yang mereka bisa( Sternberg, 1997). Pengakuan akan adanya jarak yang berbeda dalam intelegensi, digabungkan dengan cara mengajar yang fleksibel dan konseling karir, dapat memberikan lebih banyak pelajar untuk mendapat pendidikan dan masuk ke pekerjaan yang mereka inginkan dan membuat kontribusi dibidang yang mereka tekuni.
Bimbingan bagi Siswa yang Tidak Kuliah
Kebanyakan kota yang mengindustrialisasi menawarkan petunjuk untuk pelajar yang tidak melanjut ke universitas. Jerman, mempunyai sistem belajar tentang pertukangan bagi mahasiswa sekolah tinggi yang sekolah setengah hari dan menghabiskan masa akhir minggu untuk mengerjakan on job training yang dibuat employer-mentor. Berbeda dengan U.S yang lebih mengedepankan konseling bagi remaja yang menuju ke universitas. Di beberapa komunitas, program demonstrasi membantu peralihan  sekolah ke dunia kerja. Yang paling berhasil yaitu menawarkan kemampuan dasar, konseling, pertukangan dan penempatan kerja(NRC, 1993a). Di tahun 2000-2001 hampir dari setengah sekolah dan program alternative menawarkan pelatihan tentang profesi/pekerjaan.
Remaja dalam lingkungan pekerjaan.
Di United States,pada estimasi 80-90 persen dari remaja  bekerja paruh waktu selama masa kuliah,kebanyakan di kerja servis dan eceran.Para peneliti tidak setuju apakah kerja part-time menguntungkan bagi siswa perkuliahan(dengan membantu mereka mengembangkan skill dunia nyata dan budaya pekerjaan) atau merusak(dengan mengalihkan mereka dari pendidikan jangka panjang dan tujuan penting dalam pekerjaan.Beberapa penelitian mengatakan bahwa murid yang bekerja dibagi atas dua bagian,yang pertama adalah orang-orang yang menuju tahap dewasa,dan yang lainnya bekerja pada waktu pada peralihan waktu senggang,menyeimbangkan pekerjaan sekolah,kerja bayaran,dan aktivitas ekstrakurikuler.


Daftar pustaka
Papalia, Diana. E, Sally Wendkos Old and friends. 2009. Human Development: Eleventh Edition. New York: McGraw Hill.
Santrock, John. W. 2009. Life Span Development: Twelth Edition. New York: McGraw Hill.