PERKEMBANGAN
KOGNITIF
1.
Aspek
dari Kematangan Kognitif
Perkembangan
kognitif remaja akan
terus berlanjut.Remaja tidak hanya memiliki
penampilan yang berbeda dengan anak-anak dibawah nya, tetapi juga memiliki cara berpikir yang berbeda.Walaupun
mungkin itu belum terlalu matang, sudah banyak yang bisa untuk berpikir secara
abstrak dan memiliki penilaian moral yang canggih serta dapat merencanakan masa
depan dengan lebih realistis.
A.
Tahap
Operasional Formal dari Piaget
Menurut
Piaget, remaja akan
memasuki tingkat tertinggi dari perkembangan kognitif, yaitu formal operation. Dalam tingkat ini, remaja
mengembangkan kemampuan untuk berpikir abstrak, biasa nya pada usia 11 tahun-an. Remaja bisa belajar aljabar maupun kalkulus, makna-makna
dalam literatur-literatur,
dapat membayangkan kemungkinan dan dapat menyusun serta menguji hipotesis.
Remaja pada tingkat ini
sudan bisa mengintegerasikan apa yang sudah mereka pelajari dengan
rintangan yang akan mereka hadapi nanti di masa yang datang
dan merencanakan
masa depan. Pikiran pada tingkatini
memiliki tingkat ke fleksibelan
yang belum ada di tahap sebelumnya.
Hypothetical-Deductive
Reasoning.
Untuk
mengetahui apakah ada
perbedaan antara stage
formal operation dengan tahap lainnya, dibuatlah percobaan dengan masalah
Piagetian klasik, tentang
pendulum.
Sebuah
pendulum diperlihatkan
kepada anak bernama Adam. Kemudian diperlihatkan
pula kepadanya bagaimana caranya dia dapat mengubah salah satu dari empat
faktor: panjang tali, berat objek, ketinggian yang menjadi titik lepas objek,
dan jumlah kekuatan yang dapat digunakannya untuk mendorong objek tersebut. Adam diminta untuk menemukan faktor mana
atau kombinasi dari beberapa faktor
yang mana yang menentukan seberapa cepat pendulum
tersebut terayun.
Saat
pertama kali Adam melihat pendulum tersebut, ia berusia 7 tahun dan berada
dalam tahap operasional. Tidak mampu memformulasi rencana untuk memecahkan
masalah tersebut, dia mencoba satu persatu dalam kerangka benar-atau-salah,
Pertama-tama, dia meletakkan beban yang ringan di tali yang panjang lalu
kemudian mendorongnya; kemudian dia mencoba beban yang berat di tali yang
pendek; lalu dia mencopot seluruh berat tersebut. Metode ini bukan hanya acak,
tetapi dia juga dapat memahami atau melaporkan apa yang terjadi.
Pertemuan
Adam dengan pendulum berikutnya ketika ia berusia 10 tahun dan berada dalam
tahap operasional konkret. Saat itu, perbedaan panjang tali dan berat beban
akan memengaruhi kecepatan ayunan. Akan tetapi, karena ia meragamkan berbagai
faktor dalam saat yang samam dia tidak dapat mengatakan mana yang penting atau
memang kedua-duanya (berat dan panjang tali) sama pentingnya.
Adam
kembali dihadapkan kepada pendulum di usia 15 tahun, dan kali ini dia
menyelesaikan masalah tersebut secara sistematis. Dia mendesain eksperimen
untuk menguji semua hipotesis yang mungkin, mengubah-ubah satu faktor dalam
satu waktu. Pertama panjang tali, kemudian berat objek, titik di mana benda
tersebut dilepaskan, dan terakhir jumlah tenaga yang digunakan. Tiap faktor
tersebut dikombinasi dengan tiga faktor lainnya. Dengan cara seperti ini, dia
dapat menentukan hanya satu faktor, yaitu panjang tali yang menentukan seberapa
cepat pendulum berayun.
Solusi
Adam terhadap masalah pendulum tersebut menunjukkan bahwa dia sudah mencapai
tahap operasi formal. Dia sekarang mampu melakukan hypothetical-deductive
reasoning. Dia dapat
mengembangkan hipotesis dan mendesain eksperimen untuk membuktikannya.
Hypothetical-deductive reasoning memberikan perangkat untuk memecahkan masalah.
Yang
membuat perubahan dari tahap operasional konkret jadi operasi formal adalah
adanya kombinasi kematangan otak dan perluasan peluang lingkungan. Walaupun
perkembangan neurologis remaja telah cukup untuk melakukan penalaran formal,
mereka hanya dapat mencapainya dengan stimulus yang tepat. Salah satu contohnya
adalah melalui usaha kooperatif.
Kultur
dan sekolah tampaknya memainkan peran dalam hal ini. Ketika para remaja di New
Guinea dan Rwanda diuji dengan masalah pendulum, tidak seorang pun yang dapat
memecahkannya. Di sisi lainm anak Cina di Hong Kong yang sebelumnya bersekolah
ala Inggris, dapat memecahkan masalah tersebut paling tidak sama baiknya dengan
anak Amerika Serikat dan Eropa. Anak usia sekolah di Jawa tengah dan New South
Wales juga menunjukkan kemampuan operasional formal tertentu.
Evaluating
Piaget's Theory.
Teori
Piaget memberikan dampak yang
luar biasa dalam bidang pendidikan. Teori tersebut memberikan patokan pada orang tua dan
guru tentang apa yang harusnya
mereka harapkan di setiap
setiap tingkatan usia dan telah membantu para pendidik mendesain kurikulum yang
cocok dengan tingkat perkembangan anak.
Namun, dia gagal mempertimbangkan secara layak tahap-tahap pengetahuan dan
ketrampilan dalam bidang tertentu dan peran metakognisi, kesadaran, dan
monitoring proses mental dan strategi seseorang.
Teori
Piaget mungkin tidak
terlalu memberikan penekanan
yang cukup pada aspek kematangan kecerdasan seperti peran pengalaman dan
intuisi serta kebijaksanaan yang membantu orang menghadapi dunia yang kacau
ini.
B.
Elkind:
Karakteristik Pemikiran Remaja yang Belum Matang
Dalam
beberapa aspek,
pemikiran remaja terlihat kurang matang, seperti masih kasar kepada orang yang lebih tua. hal ini disebabkan
cara berpikir mereka
yang baru ini mengubah cara mereka melihat dirinya sendiri dan dunia. Mereka
merasa janggal akan perubahan dirinya,
aneh dengan dunia luar.
Menurut
Elkind, pemikiran yang belum matang (immature characteristics) terwujud dalam
enam cara, yaitu:
1.
Idealism
and criticalness.
Para remaja sering merasa yakin bagaimana
menjalankan dunia daripada orang dewasa, dan sering kali mereka mengkritik
orang tua mereka sendiri. Padahal orang dewasa hidup lebih lama dan memiliki
pengalaman yang lebih banyak.
2.
Argumentativeness. Para
remaja selalu mencari kesempatan untuk mencoba dan menunjukkan kemampuan
berpikir mereka. Mereka cenderung menjadi argumentatif dalam menyusun fakta dan
logika untuk sebuah kasus, misalnya bergadang. Orang tua akan berpikir kalau
mereka tidak harus tidur telat, tetapi remaja akan terus membuat alasan agar
diperbolehkan.
3.
Indecisiveness. Para
remaja bisa saja menyimpan banyak alternatif dalam pikiran pada waktu yang
bersamaan, tetapi kurangnya strategi dalam memilih alternatif tersebut.
4.
Apparent
hypocrisy.
Remaja sering kali tidak menyadari perbedaan antara
cara mengekspresikan sesuatu yang ideal dengan pengorbanan yang dibutuhkan
untuk mewujudkan ekspresi tersebut.
5.
Self-consciousness. Para
remaja sekarang dapat berpikir tentang pemikiran, namun mereka sering kali
berasumsi kalau apa yan dipikirkan orang lain sama dengan apa yang mereka
pikirkan, yaitu diri mereka sendiri. Inilah yang menurut Elkind, imaginary
audience, yaitu konsep yang ada
hanya dalam pikiran remaja dan sangat peduli dengan pemikiran dan tindakan yang
sedang dilakukan oleh remaja tersebut.
6.
Specialness
and invulnerability.
Elkind menggunakan istilah personal fable
untuk menunjukkan bahwa remaja itu spesial, memiliki pengalaman yang unikm dan
tidak tunduk pada peraturan yang mengatur dunia.
C.
Perubahan
dalam Pemrosesan Informasi
Penelitian
mengenai pemrosesan informasi telah mengidentifikasi dua kategori besar dalam
perubahan yang dapat diukur pada kognisi remaja : perubahan struktural dan perubahan fungsional.
1.Perubahan
struktural
Perubahan
ini meliputi :
1. Perubahan
dalam kapasitas pemrosesan informasi
2. Meningkatnya
jumlah pengetahuan yang disimpan dalam long-term
memory
Kapasitas
dari working memory meningkat besar
pada masa kanak-kanak awal,terus meningkat selama masa remaja.Perluasan working memory ini membuat para remaja
yang lebih tua untuk mengatasi masalah yang kompleks dan mengambil keputusan
yang melibatkan beberapa bagian informasi.
Informasi
yang disimpan dalam long term memory dapat berjenis :
ü Declarative knowledge
(“mengetahui bahwa...”) terdiri dari semua pengetahuan berupa fakta yang telah
didapat oleh seseorang misalnya mengetahui bahwa 2 + 2 = 4
ü Procedural knowledge
(“mengetahui bagaimana...”) terdiri dari semua keterampilan yang telah
didapatkan oleh seseorang misalnya dapat mengendarai mobil
ü Conceptual knowledge
(“mengetahui mengapa.....”) adalah pemahaman mengenai sesuatu misalnya mengapa
persamaan aljabar tetap benar jika jumlah yang sama ditambahkan atau dikurangi
didua sisi.
2.Perubahan
fungsional
Proses
mendapatkan , mengelola , dan menyimpan informasi adalah aspek fungsional dari
kognisi . Diantaranya adalah belajar , mengingat , menalar , dan mengambil
keputusan . Penalaran matematika , keruangan , dan ilmiah adalah beberapa dari
proses fungsional yang biasanya meningkat selama masa remaja .
Remaja
secara bertahap menjadi lebih baik dalam menarik kesimpulan,menjelaskan
penalarannya,dan menguji hipotesis,terutama jika premisnya dikenal dan
benar.Saat premis eksperimental merupakan kebalikan dari pengetahuan umum
(“Semua gajah kecil.Ini adalah gajah.Apakah gajah ini kecil?”),kurang dari
setengah dari remaja lebih besar atau orang dewasa yang dapat membuat deduksi
logis yang tepat.
Akan
tetapi,ketidakmatangan emosional dapat mengakibatkan remaja yang lebih tua
membuat keputusan yang lebih buruk dibandingkan dengan remaja yang lebih
muda.Hal ini dibuktikan dalam permainan Dua Puluh Pertanyaan dimana objek
diminta untuk menjawab ya atau tidak atas beberapa pertanyaan guna mengetahui
identitas seseorang,tempat,atau benda dengan mempersempit kategori dimana
jawaban dapat ditemukan didalamnya.Efisiensi dimana orang-orang dapat melakukan
hal ini biasanya membaik antara pertengahan masa kanak-kanak sampai masa remaja
akhir.Akan tetapi dalam satu penelitian,siswa SMA terutama
laki-laki,menunjukkan kecenderungan yang lebih besar dibandingkan remaja awal
atau mahasiswa untuk menebak jawaban.Pola menebak seperti ini mencerminkan
kecenderungan untuk memunculkan perilaku impulsif dan beresiko.Penilaian remaja
yang terburu-buru mungkin berkaitan dengan perkembangan otak yang tidak matang
yang dapat menyebabkan perasaan mengalahkan penalaran.
D.
Perkembangan
Bahasa
Saat
usia 16 sampai 18 tahun,umumnya remaja mengenal sekitar 80.000 kata.Dengan
datangnya pemikiran formal,remaja dapat mendefinisikan dan mendiskusikan
hal-hal abstrak seperti cinta,keadilan,dan kebebasan.Mereka lebih sering
menggunakan istilah yang menunjukkan
hubungan sebab akibat seperti walaupun, sebaliknya, oleh karena itu dan
sebagainya.Mereka
menjadi lebih sadar bahwa kata-kata adalah simbol yang dapat memiliki arti
ganda;mereka senang menggunakan ironi,humor,dan metafora.
Remaja
juga lebih terampil dalam penyerapan
perspektif sosial, kemampuan memahami sudut pandang orang lain dan tingkat
pengetahuannya disertai dengan peningkatan kemampuan dalam berbicara.Remaja
berbicara dengan bahasa yang berbeda dengan teman-teman sebayanya dibandingkan
dengan orang dewasa.Dalam menciptakan ekspresi seperti “awesome” dan “geek”,remaja
menggunakan kemampuan untuk bermain dengan kata-kata yang baru saja muncul
“untuk mendefinisikan cara pandang unik generasi mereka dalam hal nilai,selera
dan preferensi” (Elkind,1998 hal 29).
E.
Penalaran
Moral: Teori Kohlberg
Saat anak memasuki tahap kognitif
yang lebih tinggi, mereka menjadi bisa melakukan penalaran terhadap lebih
banyak masalah moral. Mereka cenderung mengalami peningkatan dalam aspek
altruisme dan rasa empati. Dibandingkan dengan anak yang lebih muda, remaja
lebih baik untuk memandang sesuatu dari perspektif orang lain, mengatasi
masalah sosial, melakukan kesepakatan dalam hubungan interpersonal, dan untuk
menyadari keberadaan mereka sebagai
makhluk sosial. Semua kecenderungan tersebut mendorong perkembangan moral.
Kita akan membahas terobosan teori
Lawrence Kohlberg mengenai penalaran moral pada pengaruh kerja Carol Gilligan
dalam perkembangan moral pada wanita, dan penelitian terhadap perilaku
prososial pada remaja.
Heinz’s Dilemma seorang
wanita sedang sekarat karena kanker. Seorang apoteker telah menemukan obat yang
diyakini dokter mampu menyelamatkannya. Apoteker menetapkan harga obat tersebut
satu kemasan kecilnya adalah $2000—sepuluh kali lipat dari harga yang
dibutuhkan untuk membuatnya. Suami wanita tersebut, Heinz, meminjam dari semua
orang-orang yang dikenalnya namun yang berhasil terkumpul hanya $1000. Dia
meminta kepada pembuat obat agar bersedia menjual obat tersebut seharga $1000
atau mengijinkannya membayar sisanya kemudian. Apoteker tersebut menolak dan
berkata, “Saya menemukan obat tersebut dan saya harus mendapatkan uang
darinya.” Heinz yang putus asa merusakkan toko apoteker tersebut dan mencuri
obatnya. Haruskah Heinz melakukan hal tersebut? Mengapa dan mengapa jika tidak?
Kohlberg’s Level and
Stages
Perkembangan
moral pada Kohlberg memiliki beberapa kemiripan dengan teori Piaget, namun
teori Kohlberg sedikit lebih kompleks. Berdasarkan proses pemikiran yang
ditunjukkan oleh respon terhadap dilema Heinz, Kohlberg memaparkan tiga tingkat
penalaran moral, yang masing-masing dibagi dalam 2 tahap:
·
Tingkat I: Moralitas Prekonvensional (4-10 tahun)
Orang
bertindak karena kontrol dari luar. Mereka mematuhi aturan untuk menghindari
hukuman atau mendapatkan hadiah, atau mereka bertindak berdasarkan kepentingan
pribadi.
ü Tahap
1: Orientasi terhadap hukuman dan hadiah.
“Apa yang akan terjadi padaku?”
Anak
mematuhi aturan untuk menghindari hukuman. Mereka tidak menghiraukan motivasi
dalam sebuah tindakan dan fokus pada bentuk fisiknya (contohnya seberapa besar
kebohongannya) dan konsekuensinya (contohnya, jumlah kerusakan fisik)
ü Tahap
2: Tujuan dan perubahan instrumental. “Jika
kau mencakarku, aku akan kembali mencakarmu.” Anak menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan berdasarkan kepentingan pribadi dan keputusan mengenai apa yang
dapat dilakukan oleh orang lain kepada mereka. Mereka memandang suatu tindakan
karena manusia perlu memenuhi kebutuhannya dan membedakan nilai ini berdasarkan
bentuk tindakan fisik dan konsekuensinya.
·
Tingkat II: Moralitas Konvensional (10-13 tahun)
Orang
telah menginternalisasikan standard dari tokoh yang berwenang. Mereka
meresahkan tentang menjadi baik, menyenangkan orang lain, dan melakukan
perintah sosial. Tingkat ini tipikalnya dicapai setelah umur 10 tahun; banyak
orang tidak pernah melalui tahap ini, bahkan sewaktu dewasa.
ü Tahap
3: Memelihara hubungan mutual,
persetujuan orang lain, golden rule. “Apakah saya adalah seorang laki-laki
atau perempuan?” Anak ingin membantu dan menyenangkan orang lain, dapat menilai
niat orang lain, dan mengembangkan ide mereka sendiri mengenai apa itu orang
baik. Mereka mengevaluasi suatu tindakan berdasarkan motif melakukannya atau
orang yang melakukannya, dan mereka juga memperhitungkan keadaan sekitar.
ü Tahap
4: Perhatian sosial dan hati nurani.
“Bagaimana jika semua orang melakukannya?” Orang berpusat dengan kesibukan
mereka, menunjukkan penghargaan pada sosok yang lebih tua, dan menjaga tindakan
sosial. Mereka menetapkan suatu tindakan itu salah, tanpa melihat motif dan
keadaan sekitar, jika itu melanggar aturan atau
membahayakan orang lain.
·
Tingkat III: Moralitas Postkonvensional (remaja awal,
atau tidak sampai dewasa muda, atau tidak mengalami)
Orang
menyadari konflik antara standard moral dan membuat penilaian sendiri
didasarkan prinsip kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Orang umumnya tidak
mencapai tahap ini sampai paling tidak mencapai remaja awal, atau umumnya pada
dewasa muda, atau bahkan tidak pernah.
ü Tahap
5: Kontrak moralitas, hak-hak individu,
dan hukum yang diterima secara demokratis. Orang berpikir dalam ranah
logis, mempertimbangkan suara mayoritas dan ketenteraman sosial.
ü Tahap
6: Moralias prinsip etika universal. Orang
melakukan apa yang dilakukannya sebagai individu adalah benar, tidak
menghiraukan batasan resmi atau pendapat orang lain. Mereka bertindak
berdasarkan standard yang terinternalisasi, mengetahui bahwa jika mereka harus
menghukum diri sendiri ketika tidak mematuhinya.
Teori
Kohlberg mengatakan bahwa penalaranlah yang mendasari respons seseorang
terhadap dilema moral, bukan respon itu sendiri, hal tersebut mengindikasikan
tahapan dari perkembangan moral.
Sebagian
remaja dan bahkan orang dewasa tetap berada pada tingkat I perkembangan moral teori
Kohlberg. Seperti anak kecil, mereka mencari cara untuk menghindari hukuman
atau memuaskan kebutuhan mereka sendiri. Kebanyakan remaja dan orang dewasa
tampaknya berada di tingkat II. Mereka mematuhi aturan sosial,mendukung status
quo, dan “melakukan hal yang benar” untuk menyenangkan orang lain atau untuk
mematuhi peraturan. Tahap 4 penalaran kurang umum namun meningkat dari remaja
awal sampai dewasa muda.
Sebelum
orang dapat mengembangkan moralitas dengan prinsip penuh (tingkat III,)
Kohlberg berkata, mereka harus mengenali relativitas dari standar moral. Faktanya
pada satu titik, Kohlberg mempertanyakan validitas dari tahapan 6, moralitas
yang berdasarkan prinsip etnik universal, karena hanya sedikit sekali orang
yang dapat mencapainya. Kemudian ia mengajukan tahapan “kosmik” ketujuh, dimana
orang mempertimbangkan efek dari perilaku mereka tidak hanya terhadap orang
lain tetapi bagi jagat raya secara keseluruhan.
Evaluating Kohlberg’s
Theory
Kohlberg,
didasari Piaget, mengesahkan suatu perubahan besar dalam penemuan mereka dalam
cara kita melihat perkembangan moral. Dari pada melihat moralitas hanya sebagai
pencapaian kontrol terhadap dorongan yang terus meningkat, para pengamat
sekarang melihat bagaimana cara anak
membuat penilaian moral berdasarkan peningkatan pemahaman mereka terhadap dunia
sosial.
Penelitian
awal telah mendukung teori Kohlberg. Anak lelaki Amerika yang diamati Kohlberg
dan koleganya diikuti perkembangan kedewasaannya melalui urutan-urutan tahap
perkembangan Kohlberg. Namun penelitian
baru-baru ini menunjukkan keraguan terhadap penggambaran dari beberapa tahap Kohlberg,
karena beberapa anak dapat berpendapat secara fleksibel mengenai beberapa isu
mulai dari umur 6 tahun.
Salah satu alasan mengapa orang-orang mencapai
tingkatan-tingkatan moral sangat bervariasi adalah bahwa orang yang sudah
mencapai tingkat perkembangan perkembangan kognitif yang tinggi tidak selalu
mencapai perkembangan moral yang sama tinggi. Mereka juga berpendapat bahwa
tahap 5 dan 6 tidak adil jika dikatakan tahap perkembangan moral yang paling
tinggi karena membatasi kedewasaan terhadap sekelompok orang yang diberikan
refleksi filosofis.
Lebih jauh lagi, tidak ada hubungan yang sudah jelas
antara penalaran moral dan moral tingkah
laku.
Pengaruh
Orangtua, Teman Sebaya, dan Budaya
Piaget
dan Kohlberg sama-sama setuju bahwa orangtua mempengaruhi pembentukan
kepribadian seseorang. Remaja dengan orangtua yang mendukung, orangtua yang
sering menstimulasi mereka dengan pertanyaan cenderung untuk mencapai penalaran
yang lebih tinggi.
Teman
sebaya juga berpengaruh. Memiliki lebih banyak teman, menghabiskan waktu yang
berkualitas dengan mereka, dan diangkat sebagai pemimpin diasosiasikan dengan
enalaran moral yang lebih tinggi.
Budaya
dari masing-masing daerah juga mempengaruhi. Orang-orang yang lebih tua di
negara-negara belahan Barat cenderung mencapai tahap yang lebih tinggi. Namun,
orang-orang dengan budaya non-Barat jarang mencapai tahap ke 4.
F.
An
Ethnic of Care: Gilligan’s Theory
Carol
Gilligan (1982/1993) menyatakan bahwa teori Kohlberg hanya berorientasi pada
nilai yang lebih penting pada pria daripada wanita. Gilligan menganggap wanita
melihat moralitas tidak dalam batasan hukum dan keadilan dari tanggungjawab
untuk menunjukkan kepedulian dan menghindari kekerasan.
Penelitian
Gilligan menemukan perbedaan gender yang
kecil dari kepedulian moral antara remaja dalam beberapa budaya. Contohnya,
remaja awal perempuan di US lebih cenderung menekankan kepedulian daripada
laki-laki, hal ini mungkin disebabkan perempuan secara umum lebih cepat dewasa
dan memiliki intimasi hubungan sosial daripada laki-laki.
G.
Prosocial
Behaviour and Volunteer Activity
Prosocial moral
reasoning ialah alasan mengenai permasalahan moral
dimana kebutuhan atau hasrat seseorang bertentangan dengan situasi orang lain
dalam hal aturan atau norma sosial yg tidak jelas atau tidak ada. Dalam sebuah
penelitian longitudinal, prosocial
reasoning didasarkan pada refleksi diri tentang konsekuensi dan untuk
menginternalisasi nilai dan norma meningkat sesuai dengan umur.
Perilaku
prososial juga meningkat dari masa anak-anak hingga remaja. Perempuan lebih
cenderung berperilaku prososial daripada laki-laki, perbedaan ini lebih tampak
pada masa remaja. Perempuan memandang dirinya lebih empatik dan prososial
dibandingkan dengan laki-laki, orangtua dari anak perempuan menekankan
tanggungjawab sosial lebih besar daripada orangtua anak laki-laki. Para
orangtua yang menggunakan disiplin induktif lebih mungkin memiliki anak remaja
yang prososial daripada orangtua yang menggunakan disiplin otoriter yang tegas.
Setengah
dari para remaja terlibat dalam pelayanan komunitas atau aktifitas sukarelawan.
Aktifitas prososial ini mampu membuat para remaja menjadi terlibat dalam
perhimpunan dewasa, untuk meng-explore kemampuan
mereka sebagai bagian dari komunitas, dan untuk menghubungkan rasa perkembangan
identitas mereka menjadi keterlibatan kenegaraan.
Sukarelawan
remaja cenderung memiliki tingkatan yang tinggi dalam pemahaman diri dan
komitmen kepada orang lain. Murid yang menjadi pekerja sukarelawan diluar
sekolah, sebagai orang dewasa, lebih berkomitmen dalam komunitas mereka
daripada yang tidak.
2.
Persiapan
Pendidikan dan Pekerjaan
Sekolah
adalah pengalaman utama berorganisasi di pada remaja. Sekolah memberikan
kesempatan untuk belajar, menguasai beragam keterampilan, mengasah bakat atau
aktifitas belajar lain. Pendidikan tersebut berperan untuk membantu para remaja
menjelajahi pemilihan karir, dan untuk bersosialisasi. Remaja di US secara
rata-rata memiliki nilai yang lebih rendah dalam tes pencapaian akademis
dibandingkan remaja di negara lain.
A.
Influences
on School Achievements
Siswa yang berprestasi baik di sekolah
cenderung untuk tetap bersekolah. Seperti di Sekolah Dasar, faktor kebiasaan
orangtua, status sosial-ekonomi, dan kualitas lingkungan mempengaruhi prestasi
belajar remaja di sekolah. juga faktor lain termasuk gender, kesukuan, pengaruh lingkungan, kualitas pendidikan dan
keyakinan murid terhadap dirinya sendiri; mampu mempengaruhi prestasi belajar.
Student Motivation and
Self-Efficacy
Di Negara barat, khususnya US,
pelaksanaan pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa murid bisa di-motivasi
untuk belajar. Pendidik menekankan pentingnya motivasi intrinsik yaitu kemauan
siswa untuk belajar demi kepentingan sendiri.
Di budaya barat, siswa yang tinggi dalam
self-efficacy yang meyakini kalau
mereka mampu mengatasi tugas dan mengatur pembelajaran mereka sendiri, lebih
baik di sekolah. Dalam budaya lain, pendidikan tidak didasarkan pada motivasi
pribadi tetapi faktor seperti kewajiban (di India), tunduk pada kekuasaan (di
negara-negara Islam), dan bentuk partisipasi dalam keluarga dan komunitas (di
sub-sahara Afrika). Di negara Asia bagian timur, siswa diharapkan untuk
belajar, bukan karena pentingnya belajar, tetapi untuk memenuhi harapan keluarga dan masyarakat. Pendidikan
memerlukan usaha yang serius, dan siswa yang gagal atau tertinggal di belakang
wajib mengulang kembali.
Di negara-negara berkembang, kurangnya
motivasi dalam hal sosial dan ekonomi menghalangi pendidikan: ketidakmampuan
atau tidak tersedianya sekolah dan sumber pendidikan, keharusan anak bekerja
dan membantu keluarga, menghalangi pendidikan bagi anak perempuan atau kelompok
budaya, dan pernikahan dini.
Siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi, yang percaya bahwa mereka dapat
menguasai tugas-tugas dan meregulasi cara belajar mereka sendiri, lebih mungkin
mencapai prestasi yang baik di sekolah. Motivasi siswa dipengaruhi oleh
tuntutan orangtua mereka kepada mereka, tetapi kepercayaan diri dari siswa
tersebut tentang kemampuan mereka lebih berpengaruh lagi.
Importance of SES and
Related Family Characteristics
Menurut penelitian terhadap 15 tahun
kecakapan matematik dalam 20 negara berpenghasilan tinggi, status
sosial-ekonomi yang tinggi merupakan prediktor penting dalam kesuksesan akademik. Batasan yang mirip muncul antara
siswa yang orangtuanya mempunyai pendapatan yang tinggi dengan mereka yang
berpendapatan menengah ke bawah.
Gender
Dalam tes internasional dari remaja di
43 negara industri, anak perempuan di seluruh negara lebih baik dalam membaca
dibanding anak laki-laki. Anak laki-laki lebih baik dalam matematika, tetapi
perbedaan ini kurang dinyatakan dalam membaca. Anak perempuan lebih cenderung
baik dalam penilaian membaca dan menulis dibanding anak laki-laki.
Secara keseluruhan, faktanya, pada awal
masa remaja, anak perempuan lebih baik dalam bidang verbal yang melibatkan
kegunaan tulisan dan bahasa; anak laki-laki lebih baik dalam aktifitas yang
melibatkan penglihatan dan fungsi spasial yang membantu dalam hal matematika
dan pengetahuan alam.
Anak laki-laki lebih mungkin
dibandingkan anak perempuan dalam mengalami penurunan prestasi (underachiever), ditugaskan untuk
pendidikan khusus atau perbaikan, diusir atau dikeluarkan dari sekolah atau
mengambil kursus yang bergengsi, masuk dalam perguruan tinggi yang terbaik, dan
untuk menyanggupi tantangan karir.
Poin penelitian terhadap perbedaan gender mengandung 2 aspek penjelasan,
biologis dan lingkungan. Otak pria dan wanita berbeda, dan akan lebih lagi
dalam umur yang berbeda. Perempuan lebih memiliki bagian abu-abu (badan sel
neuron, untuk koneksi dekat), tetapi laki-laki lebih memiliki bagian putih
(myelin) dan cairan cerebrospinal yang untuk koneksi rangsangan syaraf yang
lebih panjang. Perbedaan keuntungan masing-masing koneksi ini dihubungkan
dengan kemampuan visual dan spasial, yang membantu dalam bidang matematika dan
pengetahuan alam.
Dalam
penelitian lain, corpus callosum, yang mana hubungan antara dua hemisfer otak,
lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki, yang menghasilkan proses
bahasa yang lebih baik. Sebagai tambahan, otak perempuan lebih seimbang
melewati hemisfer dibanding laki-laki, menghasilkan jangkauan yang lebih luas
dalam proses kognitif, dimana otak laki-laki lebih terspesialisasi. Otak
laki-laki lebih mampu dalam aktifitas dalam tiap hemisfer, dimana otak
perempuan beraktifitas dengan melewati hemisfer, menghasilkan mereka untuk
mengintegrasikan tugas verbal dan analitis (otak kiri) dengan tugas spasial dan
keseluruhan.
Kekuatan
sosial dan budaya yang mempengaruhi perbedaan gender termasuk dalam:
-
Pengaruh tempat tinggal
: Pada kebudayaan, tingkatan pendidikan orangtua dihubungkan dengan prestasi
matematika anaknya. Perilaku orangtua dan harapan orangtua juga mempengaruhi.
-
Pengaruh sekolah :
Perbedaan cara mengajar guru pada laki-laki dan perempuan khususnya kelas
matematika dan pengetahuan alam.
-
Pengaruh tetangga : Anak laki-laki mendapat keuntungan lebih dari lingkungan
diperkaya dan lebih
menyakitkan oleh lingkungan dicabut.
-
Aturan wanita dan pria
dalam masyarakat membantu membentuk pilihan perempuan dan laki-laki terhadap pendidikan
dan pekerjaan.
-
Pengaruh budaya:
Penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa jumlah dari perbedaan gender dalam keragaman prestasi
matematis diantara negara dan semakin besar pada akhir dari secondary school. Perbedaan ini
dikorelasikan dengan tingkatan dari persamaan gender dalam masyarakat.
Pengaruh Pola Asuh
Orangtua, Suku Bangsa, dan Kelompok
Pola asuh orangtua berpengaruh dengan
bagaimana anak menjalani kesuksesan maupun kegagalan dalam hidupnya.
Orangtua yang otoritatif mendukung para remaja untuk melihat permasalahan dari
dua sisi, serta menerima keterlibatan para remaja untuk membuat keputusan dalam
keluarga. Orangtua yang otoritatif tidak malu untuk mengakui bahwa terkadang
para remaja lebih banyak tahu dibandingkan mereka. Para orang tua ini
menyeimbangkan tuntutan terhadap anak dengan memberi respons baik positif untuk
hal-hal baik maupun negatif untuk hal-hal buruk pada anak mereka.
Sebaliknya, orangtua non-otoritatif melarang para remaja
untuk membantah dan berdebat atau mempertanyakan sesuatu pada orang dewasa. Hal
yang baik akan membuat para orangtua non-otoritatif untuk menuntut hal yang
lebih baik lagi, tetapi hal yang buruk akan menghasilkan penghukuman bagi para
remaja.
Rasa tidak berdaya yang berkaitan dengan
pola asuh orangtua non-otoritatif dapat
menjadi self-fulfilling prophecy,
membuat anak tidak terdorong atau termotivasi untuk meraih keberhasilan.
Orangtua permisif tampak tidak perduli dengan hal-hal baik maupun buruk
yang didapat anak. Para orangtua ini beranggapan bahwa remaja harus
bertanggung-jawab terhadap hidupnya sendiri.
Prestasi yang baik di sekolah bagi para
remaja dari berbagai latar belakang imigrasi mencerminkan penekanan kuat dan
dukungan dari keluarga dan teman untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikan.
Pengaruh kelompok pertemanan atau rekan
sebaya dapat membantu menjelaskan penurunan prestasi dan motivasi bagi para
remaja awal. Remaja yang memiliki kelompok teman yang pintar dan berprestasi
tinggi, cenderung mengalami penurunan prestasi yang kecil dibandingkan dengan
remaja yang memiliki kelompok pertemanan yang berprestasi rendah.
The School
Kualitas
sekolah sangat berpengaruh terhadap prestasi siswa. Sekolah menengah atas yang
bagus,memiliki atmosfer yang teratur dan tidak menindas; kepala sekolah yang
aktif dan enerjik; dan pengajar yang tetap,rasa positif dalam komunitas. Remaja
lebih puas terrhadap sekolah apabila mereka diizinkan untuk berpartisipasi
dalam membuat aturan dan merasa mendapatkan dukungan dari guru dan siswa lain
dan jika kurikulum dan instruksi berarti penting,semsetinya menantang dan cocok
terhadp ketertarikan,level skill,dan kebutuhan.
Sekolah
yang menyesuaikan pengajaran kepada kemampuan siswa mendapatkan hasil yang
lebih baik dibandingkan yang mencoba mengajarkan semua siswanya dengan cara
yang sama.
B. Dikeluarkan
dari Sekolah
Kenapa remaja yang miskin dan minoritas lebih sering
terkena Drop Out?
Salah satu alasan mungkin sitstem sekolah yang tidak efektif: harapan guru yang rendah,perlakuan yang berbeda atas setiap murid,dukungan yang kurang dari guru dsb. Sebuah faktor yang penting yang menonjol pada orang yang cukup sukses adalah active engagement: “ perhatian,ketertarikan,modal,dan upaya yang pelajar gunakan dalam pekerjaan sekolah”. tingkat dimana pelajar terlibat dengan sekolah secara personal. Di level paling dasar, active engagement berarti datang ke kelas tepat waktu, sudah mempersiapkan diri, mendengarkan dan merespon terhadap pengajar dan mematuhi peraturan sekolah. Level tinggi lainnya secara konsisten terlibat dengan coursework-bertanya, mengambil inisiatif membantu atau mengerjakan tugas tambahan. Kedua level ini cenderung menunjukkan efek positif pada performa di sekolah. Murid yang mengikuti ekstrakurikuler dan mempunyai pekerjaan full time cenderung juga terkena drop out.Dorongan keluarga adalah nomor satu. Lainnya mungkin kelas kecil yang nyaman, lingkungan sekolah yang mendukung. Pengalaman prasekolah dapat menentukan tingkat kegagalan atau keberhasilan seseorang di tingkat sekolah menengah.
Salah satu alasan mungkin sitstem sekolah yang tidak efektif: harapan guru yang rendah,perlakuan yang berbeda atas setiap murid,dukungan yang kurang dari guru dsb. Sebuah faktor yang penting yang menonjol pada orang yang cukup sukses adalah active engagement: “ perhatian,ketertarikan,modal,dan upaya yang pelajar gunakan dalam pekerjaan sekolah”. tingkat dimana pelajar terlibat dengan sekolah secara personal. Di level paling dasar, active engagement berarti datang ke kelas tepat waktu, sudah mempersiapkan diri, mendengarkan dan merespon terhadap pengajar dan mematuhi peraturan sekolah. Level tinggi lainnya secara konsisten terlibat dengan coursework-bertanya, mengambil inisiatif membantu atau mengerjakan tugas tambahan. Kedua level ini cenderung menunjukkan efek positif pada performa di sekolah. Murid yang mengikuti ekstrakurikuler dan mempunyai pekerjaan full time cenderung juga terkena drop out.Dorongan keluarga adalah nomor satu. Lainnya mungkin kelas kecil yang nyaman, lingkungan sekolah yang mendukung. Pengalaman prasekolah dapat menentukan tingkat kegagalan atau keberhasilan seseorang di tingkat sekolah menengah.
C. Preparing
for Higher Education or Vocations
Banyak
faktor yang menjadi pertimbangan anak muda untuk mengembangakan karir seperti
kemampuan individu dan kepribadian, pendidikan, sosial ekonomi dan latar
belakang suku, informasi dari konselor sekolah, pengalaman hidup, nilai
masyarakat. Mari melihat pengaruh dalam pendidikan dan aspirasi pekerjaan.
Kemudian menguji persiapan untuk remaja yang tidak melanjut ke universitas.
Berbagai
Pengaruh Terhadap Aspirasi Siswa
Kepercayaan
akan kemampuan diri sendiri- biasanya dipengaruhi oleh keyakinan dan cita-cita
orangtua-membentuk pilihan untuk remaja pertimbangkan atau bagaimana mereka
mempersiapkan untuk karir (Bandura, Barbaranelli, Caprara,&
Pastorelli,2001;Bandura et al., 1996).
Meskipun
terjadi fleksibilitas dalam karir dalam masa ini, gender-dan stereotipe tentang
gender- dapat mempengaruhi pilihan untuk pekerjaan. Sistem pendidikan sendiri
juga berperan sebagai pengendali dalam aspirasi tentang pekerjaan. Pelajar yang
mampu mengingat dan menganalisa cenderung mengerjakan dengan baik dalam hal tes
intelegensi dan di kelas ketika guru menerangkan. Oleh karena itu, sesuai
dengan diprediksikan dari tes, para pelajar ini adalah pelaksana suatu sistem
dimana menitikberatkan pada kemampuan mereka untuk menjadi lebih menonjol.
Siswa yang lebih menonjol di kreativitas dan pemikiran praktis tidak pernah
mendapat kesempatan untuk menunjukkan apa yang mereka bisa( Sternberg, 1997).
Pengakuan akan adanya jarak yang berbeda dalam intelegensi, digabungkan dengan
cara mengajar yang fleksibel dan konseling karir, dapat memberikan lebih banyak
pelajar untuk mendapat pendidikan dan masuk ke pekerjaan yang mereka inginkan
dan membuat kontribusi dibidang yang mereka tekuni.
Bimbingan
bagi Siswa yang Tidak Kuliah
Kebanyakan
kota yang mengindustrialisasi menawarkan petunjuk untuk pelajar yang tidak
melanjut ke universitas. Jerman, mempunyai sistem belajar tentang pertukangan
bagi mahasiswa sekolah tinggi yang sekolah setengah hari dan menghabiskan masa
akhir minggu untuk mengerjakan on job training yang dibuat employer-mentor.
Berbeda dengan U.S yang lebih mengedepankan konseling bagi remaja yang menuju
ke universitas. Di beberapa komunitas, program demonstrasi membantu peralihan sekolah ke dunia kerja. Yang paling berhasil
yaitu menawarkan kemampuan dasar, konseling, pertukangan dan penempatan
kerja(NRC, 1993a). Di tahun 2000-2001 hampir dari setengah sekolah dan program
alternative menawarkan pelatihan tentang profesi/pekerjaan.
Remaja
dalam lingkungan pekerjaan.
Di United States,pada estimasi 80-90 persen dari
remaja bekerja paruh waktu selama masa
kuliah,kebanyakan di kerja servis dan eceran.Para peneliti tidak setuju apakah
kerja part-time menguntungkan bagi siswa perkuliahan(dengan membantu mereka
mengembangkan skill dunia nyata dan budaya pekerjaan) atau merusak(dengan
mengalihkan mereka dari pendidikan jangka panjang dan tujuan penting dalam
pekerjaan.Beberapa penelitian mengatakan bahwa murid yang bekerja dibagi atas
dua bagian,yang pertama adalah orang-orang yang menuju tahap dewasa,dan yang
lainnya bekerja pada waktu pada peralihan waktu senggang,menyeimbangkan
pekerjaan sekolah,kerja bayaran,dan aktivitas ekstrakurikuler.
Daftar pustaka
Papalia, Diana. E, Sally
Wendkos Old and friends. 2009. Human
Development: Eleventh Edition. New York: McGraw Hill.
Santrock, John. W. 2009. Life Span Development: Twelth Edition. New
York: McGraw Hill.